Coinsidently

28 01 2010

This day, in the morning, I just got bad news. Very bad news, in fact. But, in the middle of this predicted shock, I refuse to give up. Fall 1000 times, up 1001 times, don’t you? Then suddenly my friend buzz me in messenger, asked me to check out this book Ping: A Frog in Search of a New Pond. Coinsidently, I hear Boyzone sing this song in my playlist :
All the times that I cried, keeping all the things I knew inside,
it’s hard, but it’s harder to ignore it.
If they were right, I’d agree, but it’s them they know not me.
Now there’s a way and I know that I have to go away.
I know I have to go.
-Cat Stevens, Father and Son-
Uhm..so many coincidently. Do you believe coincidently ? I don’t.
Because every single thing and piece in this universe is meant to be, it has its own scenario. 
Well, Let me guess what is mine.

Al-Kahfi 


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.  Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah 45)





Don’t need "coding" anymore?

26 01 2010

<!–
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Verdana;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1593833729 1073750107 16 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}

Sikuli is a visual technology to search and automate graphical user interfaces (GUI) using images (screenshots). The first release of Sikuli contains Sikuli Script, a visual scripting API for Jython, and Sikuli IDE, an integrated development environment for writing visual scripts with screenshots easily. Sikuli Script automates anything you see on the screen without internal API’s support. You can programmatically control a web page, a desktop application running on Windows/Linux/Mac OS X, or even an iphone application running in an emulator. http://groups.csail.mit.edu/uid/sikuli/ 
Programming Luddites may have less to fear in the future.
A new MIT project called Sikuli allows people to program using screenshots in lieu of written code. Basically, it lets you reference user interface elements like a Microsoft Word icon, Trash Can or search bar with pictures of the button or icon instead of script. .. Read the article in here
Well, keep the good job there guys, lets make these programmers work easier !!





Bismillah..

26 01 2010

.. But, that’s only hope, because I realize the main secret to pass this IELTS test is: 1. Pray, 2. practice, practice, practice and 3. Confidence. That’s enough to give all tricks to win. That’s all, no luck in here. I was losing that last item at the last minute. But it’s ok, because I already faced that fact, learning my weakness, and I will take more practice to take IELTS test again. For me, pass this test is only 1 small gate in my long journey to catch my dreams. So, I will never give up with this. This is my next target: minimum 6 for individual band score and 7 for overall band score. You will become my witness for this target. […July 15, 2009]

Beberapa waktu lalu..rasanya kata – kata itu hanya terngiang dalam pikiranku. “This is my next target..This is my next target:.” Aku ingat, waktu menuliskannya pun, aku sempat takut. Tapi ditengah keraguan itu, sempat terlintas, kalau untuk bermimpi saja sudah tidak berani, sudah pasti tak ada yang mungkin. Aku masih teringat juga ucapan Soe jauh diwaktu dulu, seakan ia berbicara langsung padaku, padahal jarak hidup kami dipisahkan puluhan tahun waktu. Aku baru menyadari, umurnya terpaut tak terlampau jauh dariku saat dengan penuh keyakinan seperti itu, ia katakan kalimat yang masih menggema hingga kini, “Manusia itu adalah apa yang dipikirkannya tentang dirinya. Jika anda orang yang jujur dan berani, dan itu yang anda pikirkan, maka..tidak ada seorangpun yang bisa mengubahnya.”
Dan saat ini, berbulan – bulan setelahnya desember 2009, di dalam hiruk pikuk dan merasa kecilnya aku di tengah keramaian kota ini, aku duduk mengambil nafas panjang beberapa saat, mengulang lagi dalam pikiranku, mencoba menguatkan diri menghadapi semua kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi di depan sana. Aku mengingat tulisan yang kubuat sendiri, saat kucoba buktikan ucapan Soe, membuka lembar kertas yang berisi sejuta arti dari sedikit jerih perjuangan ini, aku membaca,

Dan, hanya sedikit kata yang lalu mampu kuucapkan, untuk rahmat yang ditunjukan sang Rahman. Aku bisikan jauh kedalam diriku, “My dream, don’t wait for me, because..i plan to run to you. Bismillah..

Jakarta, 17 desember 2009

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan darimu bebanmu? yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu? Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap.” (Al-Insyiroh 1-8)





Orang kecil itu Berjiwa Besar

18 01 2010

Tentu banyak yang tau kehebohan Rohut Sitompul saat meminta keterangan JK di pansus beberapa waktu lalu. Banyak yg tersinggung dengan cara rohut bertanya sambil menggunakan kata “daeng” yang dianggap bernada melecehkan.
Berikut tanggapan JK yang di posting langsung oleh beliau di kompasiana http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/16/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan-daeng/
terima kasih untuk pesannya saya sudah baca tulisan anda…memang banyak yang mempersoalkan itu, tapi bagi saya pribadi, saya anggap secara kultural, panggilan “daeng” sama saja dengan panggilan “mas” di Jawa sana. meskipun kadang2 di makassar kita juga tidak suka dipanggil mas karena itu panggilan tukang bakso, sama halnya daeng boleh jadi, orang yang dipanggil tersebut akan tersinggung. Saat ini, memang panggilan daeng lebih banyak ditujukan pada profesi tukang becak, sopir angkutan, atau penjual ikan.. Tapi, situasinya berbeda dengan saat berada di Jakarta. Saat di Jakarta, saya merasakan bahwa panggilan daeng ini menjadi sapaan yang lazim di kalangan kita yang berasal dari Sulsel. Panggilan ini menjadi penanda, semacam penegasan bahwa kita berasal dari daerah yang sama, maka kita adalah saudara. Di Jakarta, seorang warga Sulsel yang memanggil sesamanya dengan panggilan daeng, dianggap sangat sopan dan menghargai sesamanya. Panggilan itu adalah pernyataan bahwa kita sesama saudara seperantauan yang saling menghormati. Jika kemudian warga etnis lain ikut-ikutan memanggil ”daeng”, maka itu dianggapnya sebagai panggilan kehormatan. saya memang sering disapa daeng oleh sesama di Jakarta. Daeng Ucu’ begitu teman2 menyapa saya. saya anggap tak ada yang salah dengan panggilan itu sebab merupakan bentuk penghormatan dan pernyataan bahwa kita sesama saudara. Jika belakangan panggilan Ruhut menimbulkan reaksi, mungkin itu dikarenakan karena intonasinya yang seakan melecehkan. Ia seolah sedang menginterogasi, dan beberapa kali mengulang kata Daeng Jusuf Kalla. Dengan intonasi seperti itu, sah-sah saja jika orang Sulsel menganggapnya pelecehan. tapi jangan berlebihan lah, memang kawan kita suka begitu… saya sendiri sampai saat ini masih merasa biasa biasa saja, dengan sudah terbiasa dengan Bung Ruhut…


<!–
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Verdana;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1593833729 1073750107 16 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}

Bravo JK !!!





Berbahagia

13 01 2010

“Kebahagiaan adalah kualitas perasaan Anda, yang seharusnya berada dalam kekuasaan penuh Anda untuk membangunnya.  Jika Anda ikhlas, menguatkan diri – Anda akan mengubah apa pun menjadi pemungkin bagi pemenuhan hak Anda untuk menjadi pribadi yang berbahagia, maka putuskanlah.. Berbahagia!” Mario Teguh

Malam tadi aku bermimpi lagi. Bedanya, mimpi itu kuingat jelas hingga penghujung hari. Mungkin karena mimpi ini, adalah tentang mimpiku. Aku bergegas ke kantor dan memulai pagi dengan ingatan yang masih kuat atas itu. Tapi aku tidak sedang membicarakan itu saat ini. Hanya saja, tiba – tiba aku diingatkan apa yang harusnya tetap kusyukuri hingga detik ini. Dan tiba – tiba diantara demikiannya perasaan terbuang, jenuh dan tidak berdaya dalam diriku, aku diingatkan bahwa menjadi bahagia atau tidak itu adalah pilihan, perbedaan yang begitu jelas, tapi sering kali kita membuat itu semua berada di alam bawah sadar, hanya sekedar berlari dari fakta bahwa keputusan yang diambil adalah : tidak.

Sepulang bekerja dan berbenah, aku membuka – buka lagi lemari buku, diantaranya ada  majalah kusam yang hampir saja kuputuskan untuk dibuang. Tapi aku lalu membacanya, dan diantara hanyutnya aku membaca baris demi baris itu, aku teringat saat beberapa tahun lalu, ketika aku membuat keputusan untuk memilih salah satu jurusan paling diminati di perguruan tinggi terkemuka di negri ini. Saat itu, aku begitu gelisah hingga aku tak bisa tidur di hari ketika batas pengembalian formulir telah tiba. Tapi lalu akhirnya aku putusan untuk memilih, walaupun itu adalah pilihan yang paling kutakuti, dan walaupun pada akhirnya aku gagal. Tapi aku tidak menyesal, hingga saat ini. Aku yakin, kegagalan terbesar bukanlah kegagalan, tapi ketakutan untuk gagal itu sendiri.
Aku kembali pada tulisan ini, bahwa di dalam nya aku tidak saja diingatkan tentang apa yang harusnya tetap kusyukuri, tapi juga apa yang seharusnya tetap kuperjuangkan dalam hidupku. Bahwa siapapun yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik, harus menyadari bahwa kesulitan demi kesulitan hanyalah salah satu fase perjalanan dan kesempatan untuk menempa diri, agar siap menerima sesuatu yang lebih besar.
Tulisan itu adalah wawancara Dieter Lamle’ (Kepala Bagian Pers Kedubes Repubik Federasi Jerman di Jakarta) pada BJ Habibie, untuk SCALA edisi 1998, diantara masa singkat beliau ketika menjadi presiden republik ini. Berikut salah satu kutipannya..
DL : Apakah studi Bapak di jerman memberi keuntungan dalam profesi Bapak ? apakah ceritanya akan lain, seandainya Bapak studi di Amerika Serikat atau di Australia ?
Habibie :  
Saya tidak dapat membuat perbandingan dengan Amerika Serikat dan Australia, oleh karena saya tidak pernah tinggal di sana. Tapi satu hal saya tahu pasti : semangat dan pendidikan jerman telah memberi banyak hal pada saya, sehingga saya dapat seperti saya sekarang ini.
Pengertian hidup saya sebagai seorang cendekiawan, sikap saya terhadap keadilan dan demokrasi, nilai – nilai etis saya sangat dipengaruhi oleh semangat jerman. Saya seorang yang taat beragama, saya seorang muslim. Ada 25 Nabi, Nabi ang terakhir dari ke-25 Nabi itu adalah Muhammad, yang ke-24 adalah Jesus Kristus. Saya harus menghormati semua nabi dan menurut apa yang mereka katakan. Dan kalau saya membuat itu menjadi dasar piikiran, maka saya akan mempunyai penyebut yang sama dengan anda, artinya nilai – nilai saya untuk etika moral dan nilai-nilai lainnya yang penting untuk hidup. Oleh karena kita mempunya 24 penyebut yang sama yang tentu mirip, maka saya tidak pernah mempunyai masalah dengan orang – orang Eropa, dengan orang – orang Kristen.
Saya ingin bercerita kepada Anda : saya pergi ke Jerman ketika saya berumur 18. Saya dididik taat beragama. Saya sering merasa rindu pada orang tua dan keluarga, saya tidak pernah memperoleh beaiswa kecuali dari Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD), tapi baru pada tahun – tahun terakhir penulisan disertasi doktor, sehingga saya harus membiayai sendiri. Orang tua saya yang membiayai, saya bahkan tidak dapat menerima beasiswa dari pemerintah Indonesia, yang waktu itu juga sudah ada.
Ada saat – saat sulit pada masa itu bagi saya dan kadang – kadang uang saya waktu itu tidak cukup menelepon ibu atau saudara – saudara saya. Bahkan kadang – kadang karena uang belanja saya tidak datang pada waktunya, saya harus sarapan pagi hanya dengan roti dan susu saja. Mensa (kantin mahasiswa) bagi saya waktu itu adalah suatu kemewahan. Saya mempunyai tempat kost yang sering disebut “Studentenbude” di jalan Frankenberger Str. 12, di Keluarga Neuwald. Di sana tidak ada pemanas ruangan, tidak ada kamar mandi, hanya ada wastafel. Sekarang keadaannya memang sudah jauh lebih baik. Tapi dulu pada tahun 50-an, Jerman masih belum begitu maju seperti sekarang. Oleh karena tidak adanya kamar mandi, maka saya hanya dua kali seminggu pergi mandi : ke kolam renang umum. Dan karena di kamar tidak ada pemanas ruangan, ada tahu tidak dimana saya belajar ? di perpustakaan, karena disana cukup panas.
Akan tetapi saya tidak pernah merasa sedih, saya tidak pernah merasa kurang senang, saya tidak pernah merasa iri; saya bersyukur kepada Allah SWT, bahwa saya masih boleh hidup dan dapat kuliah. kondisi kehidupan yang sulit itu telah menempa saya, seorang yang bersyukur kepada Allah SWT.
Dan ada tahu tidak apa yang saya alami ? Kadang – kadang saya rindu keluarga dan kampung halaman, padahal saya dalam kesulitan karena tidak punya uang lagi, sepatu sudah berlubang – lubang, sama sekali sudah tidak punya uang untuk memberli karcis kerta api atau trem. Dalam keadaan seperti itu, saya harus berjalan kaki pulang ke pondokan, saya hanya memegang sebuah apel di tangan untuk makan malam, saya sangat kurus waktu itu.
Anda tahu tidak, pada saat-saat seperti itu saya sangat mendambakan mendekatkan diri pada Allah SWt. Tapi disana tidak ada mesjid, sehingga sulit bagi saya. Tapi anda tahu apa yang saya lakukan ? saya lalu pergi ke sebuah gereja, saya duduk paling akhir dan saya berkata pada diri sendiri, hanya ada satu Allah, “Bolehkah saya berdoa kepadamu?”. Saya mencari jalan. Saya adalah seorang pemuda yang bahagia.
SCALA, 1998.




I Can’t Stop Loving You

8 01 2010

Just sudently remember this lyric, right now. Leo Sayer originally recorded this in 1978, and then Phill Collins sang this song again after he heard that on the radio in 2002.
I really like the “even try” part. maybe, it become my OST of the day.

——
I Can’t Stop Loving You.

So you leaving in the morning on the early train.
Well, I could say everything’s all right.
and I could pretend and say goodbye.

Got your ticket, got your suitcase, got your leaving smile
Though I could say that’s the way it goes
and I could pretend you won’t know, that I was lying.

Cos I can’t stop loving you.
No, I can’t stop loving you. 
No, I won’t stop loving you.
Why should I?

Took a taxi to the station. Not a word was said,
And I saw you walk across the road for maybe the last time.
I don’t know

Feeling humble, heard a rumble on the railway track
and when I hear the whistle blow, I’ll walk away.
And you won’t know, that I’ll be crying.

Cos I can’t stop loving you. 
No, I can’t stop loving you. 
No, I won’t stop loving you.
Why should I even try?

I’ll always be here by your side. Why ?
I never wanted to say goodbye, Why even try ?
I’m always here, if you change, change your mind.

So you’re leaving in the morning, on the early train
Well, I could say everything’s alright.
and I could pretend and say goodbye,
but that would be lying.

Cos I can’t stop loving you.
No, I can’t stop loving you. 
No I won’t stop loving you.
Why should I even try?





Mengapa Aku Menulis

25 09 2009


<!–
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Verdana;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1593833729 1073750107 16 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
a:link, span.MsoHyperlink
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
color:blue;
text-decoration:underline;
text-underline:single;}
a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
color:purple;
mso-themecolor:followedhyperlink;
text-decoration:underline;
text-underline:single;}
p
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-margin-top-alt:auto;
margin-right:0in;
mso-margin-bottom-alt:auto;
margin-left:0in;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}

Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia (dalam) kerugian.

Raihan – Demi Masa*

Hari ini, disela waktu luang, aku mencari tautan namaku pada jejaring dunia maya melalui mesin pencari sensasional, paman google. Aku berseluncur, mengunjungi dan membaca rumah maya kawan – kawan sejawat dan mempelajari pemikiran mereka.

Tanpa sengaja, dalam keasikan membaca itu, aku terdampar pada beberapa halaman asing, yang beberapanya menampilkan ulang tulisan – tulisan yang pernah kubuat dan sempat di-share beberapa tahun, bulan atau hari lalu, baik pada rumah pribadi ini dan beberapa website yang berhubungan.

Senyum simpul tersirat dari wajahku, gembira karena apa yang kulakukan –walaupun kecil– ternyata bisa menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Namun, kali ini dan kali sebelumnya, aku kembali tak sengaja melihat ada yang berbeda dari tulisan itu.

Tak jarang, tulisan yang –kadang– dibuat berbulan-bulan, melewati kantuk yang datang menyerang di tengah malam – malam sunyi, atau kebosanan tak tertahankan, hingga menjadi beberapa baris tulisan atau puluhan lembaran buku, dijiplak mentah – mentah (baca : dicuri). Kusebut seperti itu karena, bahkan tak satu kata pun diubah kecuali menghilangkan namaku sebagai penulisnya dan atau menggantinya dengan nama yang bersangkutan. Pun, ejaan salah yang sempat tertuliskan pada kata dalam tulisan itupun masih sama dengan aslinya. Di lain waktu, ketika tulisan itu dipecah menjadi beberapa bagian (karena terlalu panjang), tak jarang juga yang bersangkutan lupa merubah semua nama penulisnya : pada bagian pertama nama penulis diubah menjadi nama yang bersangkutan, namun pada tulisan kedua tidak diubah.

Sempat aku meminta beberapa dari yang bersangkutan ini untuk mencantumkan nama penulis asli berikut daftar pustakanya. Khusus yang terakhir, –daftar pustaka– menurutku sangat penting, karena tulisan tersebut aku buat dengan mereferensi pemikiran orang lain. Namun, mungkin karena penjiplak ini, memang tidak mampu mengerti tentang konsep menghargai hasil karya dan intelektual, ia bukannya berterimakasih sudah diperbolehkan men-copy tulisan tersebut atau meminta izin untuk itu (walau cukup terlambat), namun balik marah dan berkata padaku “tuh, udah gue cantumin nama lu”

Membaca itu, aku hanya bisa berucap astaghfirullah. Perasaan kesal dan direndahkan pernah dan acap kali menyergap ketika hal ini berkali – kali kutemui. Memang membuat tulisan saat ini tidak -atau setidaknya belum- menjadi sumber pendapatan bagiku, sehingga hal – hal seperti itu (baca : dicurinya hasil karya) setidaknya tidak memberikan kerugian secara materil bagiku, walaupun ada secercah keinginan untuk membuat buku –yang sebenarnya– suatu saat nanti. Dan lagipula, bukankah setiap makhluk yang tercipta sudah dijaminkan rezki nya oleh Allah ?

Namun, menulis dan hasilnya, adalah sesuatu yang begitu berharga, karena tidak terjadi dan tercipta secara tiba – tiba. Proses transformasi gelombang dan materi pemikiran ini tidak begitu saja dengan mudahnya berubah menjadi sesuatu yang nyata terlihat, seperti tulisan. Tidak seperti proses ketika Prof. Dumbledore mengucapkan mantra ajaib, mengarahkan tongkat sihir pada pelipis kepalanya, dan tiba – tiba siluet putih perwujutan pemikiran dan ingatan yang diinginkannya keluar dan bisa disimpan dalam baskom Pensieve, dan dapat dilihat suatu saat nanti setiap kali diinginkan, cukup dengan menceburkan kepala kedalamnya.

Banyak penulis pernah menghadapi hal – hal seperti ini dan menyikapinya dengan cara berbeda – beda. Aku sebelumnya sempat menemui pengalaman serupa mas Imam Brotosenoseorang Sutradara hebat sekaligus penulis yang kukagumi karena keluwesan dan kelugasannya bercerita dengan apa adanya– mengenai tulisan beliau yang dibagikan pada blog pribadinya mengenai Bung Karno, yang diambil tanpa izin, tanpa menuliskan pemilik aslinya, dan dijadikan sebagian dari buku yang dipublikasikan secara masal (dan hit rilis pula di toko buku terkenal di negri ini).

Membaca itu, sempat aku turut kesal dan tak habis pikir pula, bahwa hal tercela dan sangat terhina seperti ini, dilakukan oleh orang – orang dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi yang harusnya juga melambangkan tingginya tingkat intelegensinya. Tidakkah mereka berpikir selama proses menuangkan pemikirannya itu? Namun, ternyata hukum keselarasan memang tidak selamanya berlaku dalam pribadi manusia, karena kadang tingkat intelegensi ini tidak selamanya berbanding lurus dengan penalaran, bahkan kadang berbanding terbalik.

Dan apakah hal – hal seperti itu akan membuat aku berhenti menulis ? Aku bertanya pada diriku. Berulang kali. Dan setiap kali itu juga, aku menjawab : tidak. Menulis terlalu dekat dengan hatiku, ibarat mendengar sebuah nada yang terlantun dalam imajinasi spektrum otak, maka menulis adalah not nya. Ia pasti ada, dan tak mungkin berbeda dari apa yang terdengar.

Aku teringat salah satu ucapan Rasullullah SAW tentang amalan apakah yang tidak akan pernah putus walaupun dipisahkan oleh kematian sekalipun, diriwayatkan pada HR. Muslim : “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali 3 : sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.

Aku memang bukan orang yang kaya seperti khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Khadijah binti Khuwailid. Bukan pula orang yang begitu pintar dengan ingatan kuat dan pengetahuan yang banyak seperti Ibnu Sina atau Galileo Galilei atau pemikir hebat lainnya. Dan pastinya, belum punya anak. Aku juga bukan penulis hebat apalagi produktif, karena bagiku menulis masih begitu sulitnya dan adalah suatu perjuangan, melawan rasa malas, takut dan menunda – nunda apa yang ingin atau seharusnya kukerjakan, sekelompok insting negatif dasar yang semua manusia pernah dan terus rasakan dalam hidup, untuk dikendalikan dan dikalahkan. Begitu mengherankan bagiku, bagaimana insting serupa yang kualami dalam menulis ini jugalah, yang pasti ditemui dan harus terus dilawan oleh seorang survivor untuk bertahan hidup, keluar dari ketersesatan di tengah hutan belantara misalnya.

Aku menulis, sebagai perjuangan mengiringi rusak dan putusnya satu – satu persatu jaringan neuron otakku ini dari setiap waktu yang pasti selalu berlalu dalam hidup. Aku menulis untuk menyambut periode menakutkan dalam berpikir, menjadi lupa. Aku hanya orang biasa yang mencoba mengabadikan bunyi dalam pikiranku menjadi rangkaian not, agar nadanya tetap bisa bersenandung dalam ruang ilmu yang tak akan pernah bisa aku ketahui dimana batasnya. Agar kelak, ketika nada – nada itu sudah tak lagi terdengar dalam kepalaku, ia masih akan bisa kubaca dan kulihat.

Dan, ilmu yang sedikit ini, tentu bukan milikku, tapi hanya titipan, yang disela waktu luangku –yang juga diberikan oleh Yang Menguasainya-, sanggup aku tuangkan menjadi tulisan. Semua pengetahuan ini, entah yang tersembunyi dalam ratusan lembar – lembar buku tua atau mahal, dalam gelapnya perut bumi, dalam luasnya angkasa raya, dalam kecilnya sebuah sel makhluk mikro, atau yang ada dalam persembunyian otak manusia; ada yang memilikinya, hanya satu : Sang Pencipta.

Dan, setiap kali selesai aku menulis, hanya secercah harapan yang kutitipkan pada setiap huruf, kata dan kalimat didalamnya –seperti juga yang pernah mas imam tuliskan dalam blog nya- , agar ini mampu menjadi segelas air bagi oase pengetahuan, walaupun hanya seteguk. Semoga Allah meridhai apa yang telah kita lakukan, hidup kita ini, dan pengetahuan yang didapat didalamnya.

Jangan takut menulis, kawan..Selamat berkarya, dalam tanpa ruang batas.

Salam,
Al-Kahfi

* Seperti disuratkan dalam Al ‘Ashr (Masa) 1 – 2





Met Lebaran Ya..

18 09 2009
Dear All,
Entah, apakah kita masih akan bertemu di Ramadhan selanjutnya.
Hanya saja, sebelum Ramadhan saat ini berakhir, dan menjelang suci-nya Syawal,
Saya ingin mengucapkan

Minal Aidin Wal Faidzin..
Met Lebaran di Idul Fitri 1430 H

Semoga sesuci dan dalam keteduhan hari yang seperti itu juga,
hati dan hidup kita ini akan melangkah

Salam hangat dari rumah,
Aidi

met mudik aman ya..sampai ketemu lagi diperantauan ^_*!!





Menjadi Dosen yang Beretika

16 08 2009

“Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan bila anda sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan anda.”Mario Teguh

Aku teringat beberapa tahun lalu. Saat itu, aku memutuskan untuk mengawas ujian pagi hari pukul 8 itu. Kebetulan aku sudah tidak ada kuliah lagi dan sedang menyelesaikan tugas akhirku, dan bergabung sebagai asisten di salah satu laboratorium riset di kampusku membuatku dapat mengajukan diri sebagai pengawas ujian semester itu.

Dan akupun masuk dalam ruang kelas itu sambil membaca nama mata kuliah, tertulis Sistem Komunikasi. Menurut kabar burung, ini salah satu mata kuliah yang ditakuti. Aku tak tau pasti mengenai hal ini, karena ini bukan mata kuliah bidang studiku. Sekitar 30 mahasiswa tingkat 2 dengan wajah khawatir sudah menunggu di depan pintu dan didalam kelas. Kebetulan beberapanya aku kenal, tapi seperti biasa aku memutuskan untuk tetap menjalankan tugasku dengan baik : mengawas ujian.

Aku teringat ucapan salah satu dosen yang sangat kukagumi, beliau adalah dosen luar biasa dan waktu itu mengajarkanku mata kuliah yang kemudian menjadi favoritku : Struktur Data. Beliau berkata,”klo menjadi asisten, jadilah asisten yang baik, niatkan untuk membagi ilmu, bukan dengan anggapan mengajarkan orang yang lebih bodoh atau mengerjai. Saya salah satu korban dari asisten yang tidak kompeten semasa kuliah, dan sampai saat ini saya tidak suka melihat asisten yang arogan”. Aku juga teringat kejadian dari sikap asisten arogan ini, saat itu beberapa kawanku yang baru mengikuti ujian bercerita, bahwa asisten yang mengawas mereka “mengerjai” mereka. Mengerjai, karena saat itu ia berkata di depan seluruh peserta ujian itu, “ok, silahkan menyontek atau liat buku, saya ga akan liat atau lapor”. Dan, sontak saja, hampir dipastikan kebanyakan 50 orang di ruang itu akan melakukan kesempatan itu. Dan ternyata, si asisten ini lalu mencatat dan melaporkan semua yang menerima undangan yang dia buat sendiri.

Aku sesali kejadian ini, karena dilakukan oleh seorang asisten dan katanya juga aktivis mahasiwa. Jika memang ia bertugas mengawas ujian yang salah satu tugasnya adalah mencegah seorang untuk berbuat curan, mengapa ia mengundang untuk melakukan itu ? Karena menjadi asisten pengawas ujian tidak sama dengan seorang polisi yang menyamar untuk menangkap pengedar narkoba dengan berpura – pura menjadi pembelinya. Mahasiwa didepan sana bukanlah pelaku kecurangan, tapi difasilitasi untuk melakukan kecurangan. Saat itu aku berharap menjadi salah satu mahasiswa dalam ruang itu, karena jika aku berada dalam posisi itu hampir dipastikan akan kuusahakan asisten bajingan ini ikut serta menerima konsekwensi tindakannya bersama mahasiwa yang menjadi korbannya itu.

Dan saat ini, melihat ketegangan dalam ruang ujian ini, aku memutuskan untuk tidak akan menjadi bagian dari penyebab yang penambah ketegangan kawan – kawan ini menghadapi ujian. Aku melihat syarat ujian nya : tertera close book. cukup jelas. Aku lalu teringat lagi ketidak sukaanku atas buruknya sikap asisten pengawas ujian ketika melaksanakan tugasnya, beberapanya sering kali kulihat berlaku arogan, yang malah menambah kekhwatiran ketika menghadapi ujian dan terkadang mengganggu konsenstrasi. Padahal dengan bersikap biasa saja dan tidak berlebihan, sudah cukup, jika ada yang mencontek bisa ditegur, atau jika tidak mempan keluarkan dari ruangan dan laporkan, apa sulitnya ?

Kembali ketengah ruang ujian ini, seperti biasa hal yang dilakukan pengawas ujian : membagi posisi tempat duduk dan aku menulis dipapan : Close Book, Open Mind dan limit waktu ujian .. sontak terdengar gumaman kekecewaan sambil tersenyum geli dibelakangku dan lalu aku berkata kira – kira begini : “baik, sifat ujian kita close book, silahkan semua barang kecuali alat tulis dan nomor ujian letakkan ke depan. sebelum memulai ujian ini, ada baiknya kita berdoa semoga kawan – kawan diberikan kemudahan.” Dan kamipun berdoa. Sesaat setelah kawan – kawan ini mulai mengerjakan ujian, aku mulai bersiap mengambil absen. Tidak ada niat apapun dari tulisan Close book, Open Mind itu selain sambil memberi tau sifat ujian tapi juga mengurangi ketegangan dalam ruangan ini. Tidak ada yang salah dan yang dilanggar dari tulisan itu.

Tapi lalu seorang bapak masuk ke ruang itu, saat itu aku sedang mengambil absen peserta ujian, dan lalu ia berkata dengan intonasi tinggi, “siapa pengawasnya ? anda ?” sambil menatapku. “Ya saya pak”, jawabku sambil menghampiri beliau. Bapak ini yang tanpa mengenalkan diri aku tau pasti adalah dosen matakuliah yang kuawasi ini. Ia lalu tiba – tiba membentakku didepan sekitar 30 mahasiswa yang sedang mengerjakan soal – soal ujian itu. Energi yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan untuk sebuah pertanyaan “Apa maksudnya Open Mind ?!? Ini ujian bukan main – main, klo Close book ya close book.”

Saat itu, dalam perasaan dipermalukan dan diinjak harga diri, otak kolerik – melankolik ku sontak memberi 2 pilihan untuk diambil saat itu juga, membalas permalukan dengan mengajaknya berdebat atau tidak meladeni semburan horman kemarahan dalam darahku.

Sejenak, aku terlempar pada saat – saat beberapa tahun yang lampau dalam hidupku, ketika aku dan kakakku bermain di halaman luas sebuah kampus di sudut kota dili, lahane barat. Saat itu, ayahku berkerja di Sekolah Perawat Kesehatan Dilli, saat itu Timor – Timur. Aku teringat langkah kecilku ketika memasuki ruang saat ayahku sedang bekerja, mengetok pintunya, tubuhku bahkan tak sampai sepinggang ayahku dan aku bahkan belum masuk sekolah, tapi aku tau pekerjaan ayahku dan apa artinya itu, ayahku seorang guru. Aku berlari berkejar- kejaran dengan kakakku dan menghampur ke ke pelukan beliau, di depan kelas itu, disaksikan oleh sekitar 50 orang siswa ayahku : tante dan om calon perawat, untuk membisikan sebuah permintaan, “papa, minta air minumnya ya”. Ayahku saat itu selalu mengambilkan gelas air putih nya, lalu membisikan sesuatu pada kami, “sekarang main di luar ya nak, papa lagi mengajar. hati – hati jangan main di jalan ya”

Aku juga teringat ketika baru tiba dibandung, duduk dengan ayahku, sesaat setelah aku membaca koran yang daftar nama didalamnya menyatakan aku tidak lolos ujian masuk di salah satu Institut Terkemuka di Bandung ini. Saat itu, ayahku menanyakan keyakinanku untuk keputusan yang sudah kubuat beberapa saat lalu, “bagaimana ? adek sudah yakin dengan pilihan ini ?” Ya, saat itu aku menyakinkan diri, untuk mengambil konsekwensi dari kombinasi keputusanku, aku menerima salah satu kesempatan berharga dalam hidupku : mengambil undangan masuk tanpa tes sebagai mahasiwa program diploma di almamaterku saat ini.

Setelahnya, adalah pertama kali aku memasuki kampus itu, berkeliling terkesima melihat megah gedungnya, dan ayahku berpesan : “adek, syukuri kesempatan ini, kuliah yang benar, selesaikan pendidikan adek dan satu yang paling penting, jangan pernah melawan dosen ya nak. Berdebat boleh, tapi jangan dilawan. Memang ga ada manusia yang sempurna, tapi tidak selamanya kebenaran itu harus dipaksakan. Mundur saja dan bersabar ya, karena mulai saat ini adek hadapi segala sesuatu dan konsekwensi tindakan adek sendiri, karena papa jauh dan ga mungkin selalu bisa menolong adek klo adek bermasalah. Ingat itu ya nak.”

Dan saat ini, aku sedang berdiri di depan kelas ini, pagi ini, dengan niat menjadi pengawas ujian. Saat itu, aku mahasiwa tingkat akhir, berkutat dengan kode – kode program sembari berharap dapat lulus secepatnya. Di depanku berdiri seorang dosen, yang dari perawakannya kupastikan sudah cukup tua, dengan rambut dan jenggot putihnya, yang baru saja berberapa detik yang lalu mempermalukanku didepan sekitar 30 mahasiswa tingkat 2. Pikiranku mengingat nama mata kuliah yang sedang aku awasi ini, Sistem Komunikasi, xxx SKS berikut kode mata kuliahnya. Dan sosok yang berdiri didepanku ini adalah dosen yang mengajarkanya.

Saat ini, aku ingin mengatakan pada beliau ini dengan nada yang juga sama tingginya mengikuti intonasi kata – kata yang tadi ia sampaikan padaku : “Bapak, bukan berarti sebagai pengawas ujian yang dibayar 15 ribu oleh kampus ini, bapak berhak mempermalukan saya didepan mahasiswa bapak !!”. Jika aku tidak berpikir, mungkin itulah tindakan setimpal yang bisa kuambil saat itu. Bagaimana tidak, dari kalkulasiku, aku tidak sedang melakukan hal yang salah, semua prosedur dan aturan yang ada sudah kulakukan. Menuliskan kata “Open Mind” tidak melanggar satupun dari itu semua.

Dalam otakku, pilihan pertama : jika aku mengalah, kupikir saat itu pasti harga diriku jatuh dan aku tidak akan dihargai sebagai pengawas ujian ini yang membuat aku tidak maksimal dalam menjalankan tugasku, dan yang paling aku takutkan aku tak akan dihargai lagi sebagai manusia. Dan pilihan kedua : jia aku mengajak dosen ini berdebat di depan kelas ini, disaksikan oleh seluruh 30 orang mahasiwanya itu, aku mungkin bisa membuat harga dirinya jatuh untuk membalas tindakanya yang tilah mempermalukanku.

Dipastikan jika aku mengambil pilihan kedua ini, sesi perdebatan ini tidak akan selesai sampai disini saja, tapi akan membawa kami hingga komisi disipliner kampus atau pihak yang lebih berwenang untuk hal ini. Dan aku tidak takut, saat itu aku yakin, bahwa aku tidak salah dan toh aku mahasiwa tingkat akhir dan dosen ini bukan dosen di jurusanku, setidaknya ia tidak akan mengajarku atau mengujiku di sidang tugas akhir nanti. Begitulah kalkulasi pikiran arogan ku saat itu.

Sisi logikaku pun saat itu dijungkir balikan, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan tentang ilmu dan teknologi untuk berkomunikasi, yang menjadi dasar bagi satelit untuk bekerja yang membuat orang bisa mengetahui posisinya dimuka bumi ini saat ia ditengah lautan hutan belantara, yang menjadi dasar adanya teknologi komunikasi bergerak yang membuat umat manusia dengna mudahnya bisa mengakses pesbuk dimana saja kapan saja saat ini,, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan kerumitan semua kalkulasi rumus – rumus untuk membuat semua itu menjadi nyata, tapi tidak memahami prisip dasar dari itu semua ? prinsip paling dasar dari berkomunikasi yaitu saling menghargai ?

Aku teringat dan limbung memikirkan, berapa banyak murid yang menjadi korban dari tidak berkompetennya guru mereka, yang salah satu nya oleh guru yang tidak ber ETIKA ? bagaimana mungkin seorang guru yang akan mengantarkan mahasiswa di depanku ini, yang dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi engineer – engineer dan yang mungkin dalam 10 atau 20 tahun mendatang akan menjadi CEO dari perusahaan telekomunikasi di negri ini tidak memahami hal mendasar ini ?

Tapi diantara membuncahnya kemarahanku itu, aku teringat ucapan ayahku, aku teringat saat – saat dalam masa kecilku itu, aku teringat saat ayahku berdiri sambil memegang kapur di tangannya didepan kelas itu, aku teringat semua guru dan dosen yang pernah mengajarku selama hidup ini. Dan sejenak pilihan tindakan diatas langsung buyar dari pikiranku, digantikan oleh raut tanpa ekpresi sambil berkata pelan “Baik, klo bapak mau tulisan itu saya hapus, akan saya hapus. Ada hal lain pak, yang bisa saya lakukan ?”. Lalu beliau ini tidak menjawab, sambil berlalu dan mengambil dengan kasar daftar absen yang ada di meja. Ia sempat berkeliling beberapa saat lagi setelah itu mengitari ruang kelas, sambil bertanya pada mahasiwanya, apakah ada yang ditanyakan mengenai soal ujian dan lalu pergi ke ruang kelas lain. Aku lalu mengambil kursi dan duduk, sambil dalam hati mengucap istighfar menahan kemarahan yang sudah hampir tiba diubun – ubunku.

Dan, 2 jam itupun berakhir, dan aku selesai menjalankan tugasku sebagai pengawas ujian itu. Alhamdullilah, apa yang kukhawatirkan bahwa ujian ini akan berjalan kacau tidak terjadi. Dan saat mengumpulkan berkas ujian itu, salah seorang adik kelas peserta ujian itu menghampiriku, sambil berkata “Bapak itu memang begitu kak. anak – anak juga males diajar sama dia, ga ada yang ngerti dia ngomong apa. Klo pada bisa pindah kelas, pindah kelas dah itu semua. Santai aja, jangan dibawa hati.”

Dan saat ini, disini, di tempat ini, aku membaca pengumuman lowongan untuk menjadi dosen luar biasa di salah satu perguruan tinggi di kota parahyangan ini. Aku kembali teringat wajah ayahku, guru – guru dan dosenku dan kawan – kawanku yang beberapanya sudah menjadi dosen. Aku teringat selama 2 jam waktu mengawas ujian itu, aku bertanya dalam hati, apakah aku salah ? apakah aku kalah ? berkali – kali pertanyaan itu selalu terngiang dalam otakku.

Dan diakhir sesi itu, satu yang kuyakini, dan hingga saat inipun masih seperti itu. Aku sudah menang dan aku tidak salah. Karena aku yakini saat itu, bahwa aku berhasil mengendalikan musuh terbesar dalam hidupku, diriku sendiri. Saat itu juga sudah kusaksikan, aku turuti nasehat ayahku dan beberapa bulan kemudian aku selesaikan amanahku, sebagai Sarjana Teknik. Dan saat ini lalu sesudahnya, jika Allah tak membalik hatiku, masih akan sabar aku menunggu saat ketika cita – cita terbesarku tercapai : menjadi dosen, seperti ayahku. InsyaAllah.

Nb :

Seperti juga lembar penghargaan Proyek Ahir dan Tugas Akhirku, tulisan ini untuk semua guru serta dosen yang telah membuka jalan ilmu pengetahuan kepadaku selama ini. Terima kasih bapak dan ibu, karena sudah menjadi guru terbaik bagiku, bagi universitas kehidupanku.

tertulis di Bandung September 2008
613020022 / 113058039





Obfuscator

13 08 2009
*Copyright : Diperbolehkan mengutip keseluruhan atau sebahagian dari isi dokumen ini dengan atau tanpa  ijin penulis dengan tetap menyajikan kredit penulis.